“Scout Green Forum” yang diselenggarakan oleh Pramuka IPB pada tanggal 24 Mei 2025 

Acara “Scout Green Forum” yang diselenggarakan oleh Pramuka IPB pada tanggal 24 Mei 2025 

menjadi wadah diskusi kritis mengenai isu deforestasi yang semakin mengancam lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya di wilayah Bogor dan sekitarnya. Forum ini menekankan bahwa deforestasi bukan sekadar pembabatan hutan, melainkan proses yang membawa dampak luas terhadap ekosistem, ekonomi, sosial, hingga ketahanan pangan. 

Salah satu poin penting yang diangkat adalah perlunya kesadaran bahwa deforestasi 

menghilangkan fungsi penting hutan sebagai penyerap air. Dampaknya tidak hanya dirasakan di 

wilayah hulu yang rawan banjir dan erosi, tetapi juga di wilayah hilir yang mengalami penurunan 

produktivitas dan ketahanan pangan. Proses degradasi lahan yang terus berlangsung akan 

memicu efek domino berupa hilangnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya gas rumah 

kaca, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara umum. Chalis Ghufttama Hendra Founder dari Forest Lestari menyampaikan, “Deforestasi adalah penebangan masif tanpa adanya upaya pemulihan yang dapat menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap air.”

Forum ini juga menyoroti pentingnya penerapan konsep kolaborasi pentahelix, yang melibatkan 

lima unsur utama: pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor bisnis, dan media. Sayangnya, 

implementasi konsep ini masih belum optimal, bahkan seringkali terjadi benturan kepentingan di 

antara pihak-pihak tersebut. Aufa dari Forest Lestari menyampaikan bahwa “masyarakat bukan sebagai objek, tetapi harus dijadikan sebagai subjek utama dalam konservasi.”

Terkait solusi, reboisasi diidentifikasi sebagai pendekatan yang tidak bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan teknologi pemetaan wilayah seperti informasi geospasial untuk 

memastikan bahwa proses rehabilitasi lahan berjalan efektif dan sesuai dengan karakteristik 

ekologis masing-masing kawasan. Kak Dinnar Diandra turut menekankan pentingnya pemahaman terhadap spesies endemik (key species) di setiap lokasi untuk efektivitas reboisasi. Zikri Hamidi, Founder Econcern.id menambahkan bahwa “kita perlu peka terhadap lingkungan, dan bisa berkontribusi melalui media sosial untuk mempercepat penanganan.”

Masyarakat lokal menjadi aktor penting dalam proses konservasi. Mereka tidak boleh 

diposisikan sebagai objek, melainkan harus menjadi subjek utama yang terlibat secara aktif. 

Pendekatan berbasis humanitas sangat diperlukan, mengingat banyak masyarakat berada dalam kondisi sosial-ekonomi yang belum ideal. Kak Akram Musthafa menyoroti adanya ketimpangan sosial yang menyulitkan kolaborasi, namun Zikri menegaskan bahwa “masyarakat kelas menengah ke bawah bisa diajak berkolaborasi melalui pendekatan yang tidak mengintervensi dan berbasis kemanusiaan.”

Dalam konteks kepramukaan, peserta forum menekankan bahwa Pramuka memiliki potensi 

besar dalam menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini. Kak Dinnar menyampaikan bahwa 

untuk menjangkau masyarakat, diperlukan peran aktif dari pemerintah dan kwartir. Pendidikan 

konservasi bisa menjadi program yang efektif, terutama bagi penggalang dan siaga melalui kegiatan seperti pengenalan biopori, penanaman pohon, atau aktivitas perkemahan. Chalis 

juga menekankan bahwa “pemerintah harus menemukan cara pendekatan yang sesuai untuk 

setiap daerah, dan cukup menjadi fasilitator, bukan mengintervensi.”

Apakah ada best practice untuk diterapkan di puncak.

  • Menurut Zikri : Riset itu penting untuk deforestasi sehingga tidak bisa sembarang solusi yang diterapkan 
  • Menurut Kak Dinnar : Best practice yang dilakukan kang Dedi untuk mencabut izin dan merobohkan bangunannya. Bisa menggunakan platform juga atau kampanye di media sosial. Maka dari itu ayo kita viralkan isu lingkungan agar ada penanganan.
  • Pertama monitoring apakah reboisasi adalah solusi yang akurat karena solusi tsb belum tentu. Kita harus melakukan research sehingga penanganannya tepat.

Melihat isu itu secara tuntas.

Masih ada celah masyarakat yang mau memanfaatkan karena blum ada keterangan jelas mengenai hutan lindung.

kita harus paham core dari kebijakan karena adanya suatu perubahan pasti berdampak pada deforestasi uncak ini. Harus ada peninjauan kembali untuk suatu kebijakan. Karena perubahan kebijakan mengenai hutan lindung ini menyebabkan banyak nya penebangan pohon liat. Sehingga perlu adanya kolaborasi antar unsurnya.

Dari pemerintah harus adanya kontribusi dan kolaborasi dan perhatikan dimana adanya butterfly effect dimana aksi kecil kita akan berdampak besar. 

Perspektif mahasiswa.

Mahasiswa punya kemewahan yang luar biasa, jangan sampai ide di kelas berhenti dikelas. Namun ketika mahasiswa mau duduk bersama pemangku kebijakan tapi masih ragu untuk turun bersama dengan petani. Untuk itu stop hanya duduk di kelas dan bagi ilmunya. Ketika kita memilih diam pada setiap pohon yang ditebang berarti kita menjadi bagian dari deforestasi itu sendiri.

Bencana yang kita lihat, ini bukan diakibatkan oleh alam karena alam bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Kita harus melatih minimal kritis terhadap isu isu. Berpikir itu harus kritis, jika tidak kritis itu sebuah kemunafikan. Aksi bukan soal terjun ke lapangan, tapi dengan hal hal kecil, jika hal kecil dilakukan dengan konsisten maka akan berdampak besar 

Konservasi itu rumit, tapi tidak akan rumit jika melibatkan kolaborasi. Konservasi berasal dari dua kata yaitu Kon adalah bersama dan varsi adalah menjaga. Maka dari itu kita harus menjaga bersama sama

Sejatinya kita menyelamatkan hutan, maka kita menyelamatkan kehidupan kita sendiri

Narasumber:

  1. Internal : Kak Dinnar Diandra Anugera Tejamulyawan
  2. Aktivis Lingkungan (Forest Lestari) : Chalis Ghufttama Hendra
  3. ⁠Econcern : Zikri Hamidi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *