Pramuka: Bikin Tenda di Hutan atau Cuma Narsis di Instagram?

Pernah lihat anak Pramuka kumpul? Sebagian mungkin bayangin mereka lagi belajar bikin simpul atau nyanyi lagu wajib. Tapi data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun 2023 menunjukkan fakta lain. Lebih dari 60% anak usia sekolah di perkotaan merasa kegiatan ekstrakurikuler (termasuk Pramuka) membosankan dan tidak relevan. “Gue lebih suka bikin konten TikTok, Kak,” kata seorang remaja yang kami wawancarai di sebuah kafe. “Di sana, gue bisa belajar edit video, nulis caption, dan cari duit. Di Pramuka? Cuma disuruh baris-berbaris.”

Ini bukan lagi soal Dasa Darma yang dihafal di luar kepala. Ini soal relevansi. Faktanya, seorang CEO perusahaan teknologi ternama pernah bilang, “Keterampilan paling berharga di era digital itu bukan bikin api unggun, tapi problem solving dan adaptasi.” Nah, anak Pramuka bisa enggak sih bikin aplikasi yang bisa nyelesain masalah macet, misalnya? Atau mereka cuma bisa bikin P3K buat luka batin setelah diputusin?

Masyarakat kini bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya anak Pramuka kerjain di era gempuran internet ini? Apakah Dasa Darma masih relevan? Atau cuma jadi hiasan di lembar penilaian? Ada yang bilang, “Pramuka itu cuma kegiatan bapak-bapak yang gagal move on dari masa lalu.” Pedas, tapi ada benarnya. Anak Pramuka diajarin survival di hutan, tapi lupa cara survival di belantara digital.

Kalau kita analogikan, Pramuka itu seperti tim sepak bola yang cuma latihan lari keliling lapangan. Mereka kuat, tapi enggak pernah belajar dribble atau passing yang bener. Sampai kapan mereka mau terus-terusan jadi jagoan di hutan, sementara dunia butuh jagoan yang bisa coding? Atau, apa mereka cuma bisa bikin tenda, tapi enggak bisa bangun “tenda” impian mereka sendiri?

Jadi, sekarang kita tanya balik: sudah siapkah Pramuka menghadapi tantangan masa depan, atau mereka cuma bertahan di zona nyaman masa lalu?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *